Kamis, 18 September 2014

ISU KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM TENTANG KURIKULUM





ISU KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
TENTANG KURIKULUM



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Istilah kurikulum secara sederhana diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh/ diselesaikan anak didik untuk memperoleh ijazah.
Dalam dunia pendidikan istilah kurikulum telah dikenal sejak kurang lebih satu abad yang lampau. Dalam kamus Webster lahuri 1856 untuk pertama kalinya digunakan istilah kurikulum. Pada waktu itu kurikulum dipakai dalam bidang olah raga, yaitu suatu alat yang dibawa seorang sejak start sampai finish”. Dalam kurun waktu yang berbeda istilah kurikulum muncul dengan berbagai definisi, misalnya diartikan sebagai mata pelajaran yang harus diambil untuk suatu pendidikan atau training. Kurikulum sama dengan isi buku teks, garis-garis besar program pendidikan (GBPP), pedoman guru, serta alat pelajaran yang diperlukan suatu mata pelajaran.
Pemahaman kurikulum yang didasarkan pada permikiran atau filsafat pendidikan klasik yang menganggap kurikulum adalah program pendidikan yang diberikan secara direncanakan di sekolah.Dalam pengalaman sehari-hari, sering didengarkan istilah fungsi. Fungsi membawa akibat pada adanya hasil. Jika sesuatu itu berfungsi maka berakibat pada adanya hasil. Demikian juga sebaliknya, jika sesuatu itu tidak berfungsi akan berakibat pada tidak tercapainya hasil yang diharapkan (tujuan). Atas dasar tersebut, dapat dikatakan bahwa fungsi kurikulum berkaitan dengan komponen-komponen yang ada dan mengarah pada tujuan-tujuan pendidikan.
Selama ini kurikulum dianggap sebagai penentu keberhasilan pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Karena itu, perhatian para guru, dosen, kepala sekolah/madrasah, ketua, rektor, maupun praktisi pendidikan terkonsentrasi pada kurikulum. Padahal, kurikulum bukanlah penentu utama. Dalam kasus pendidikan di Indonesia misalnya, problem paling besar yang dihadapi bangsah ini sesungguhnya bukan problem kurikulum, meskipun bukan berarti kurikulum tidak menimbulkan problem. Namun masalah kesadaran merupakan problem yang paling besar. Yaitu lemahnya kesadaran untuk berprestasi, kesadaran untuk sukses, kesadaran untuk meningkatkan SDM, kesadaran untuk menghilangkan kebodohan, maupun kesaaran untuk berbuat yang terbaik. Maka dari itu pergantian atau perubahan kurikulum yang sering terjadi dalam setiap decade terkadang menimbulkan berbagai pertanyaan dan pernyataan, dan hal ini tidak lepas dari apa yang menjadi tujuan dari kurikulum itu sendiri, maka dari itu penulisan makalah ini berjudul “Isu Kebijakan Pendidikan Islam tentang Kurikulum”.

B.     Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis dapat merumuskan berbagai hal tentang isu kebijakan pendidikan Islam tentang Kurikulum yang terdiri atas:
a.       Bagaimana Landasan filosofis tentang kurikulum?
b.      Bagaimana Posisi kurikulum dalam pendidikan?
c.       Apa fungsi dari pengembangan kurikulum?
d.      Bagaimana peranan pengembangan kurikulum?
e.       Bagaimana Perubahan Kurikulum dan Pelaksanaan Praktis?

C.    Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui Landasan filosofis tentang kurikulum
2.      Untuk mengetahui Posisi kurikulum dalam pendidikan
3.      Untuk mengetahui fungsi dari pengembangan kurikulum
4.      Untuk mengetahui peranan pengembangan kurikulum
5.      Untuk mengetahui perubahan kurikulum dan pelaksanaan praktis

D.    Manfaat
a.       Mahasiswa mampu menjelaskan tentang landasan filosofis
b.      Mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan posisi kurikulum dalam Pendidikan
c.       Diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan tentang fungsi pengembangan kurikulum.
d.      Mahasiswa mampu menjelaskan tentang peran pengembangan kurikulum.
e.       Mahasiswa mampu memahami tentang perubahan Kurikulum dan pelaksanaan praktis.



































BAB II
PEMBAHASAN

A.    Landasan Filosofis
Pendidikan merupakan suatu upaya untuk memanusiakan manusia. Artinya melalui proses pendidikan diharapkan terlahir manusia-manusia yang baik. Standar manusia yang “baik” berbeda antar masyarakat, bangsa atau negara, karena perbedaan pandangan filsafah yang menjadi keyakinannya. Perbedaan filsafat yang dianut dari suatu bangsa akan membawa perbedaan dalam orientasi atau tujuan pendidikan.
Bangsa Indonesia yang menganut falsafah Pancasila berkeyakinan bahwa pembentukan manusia Pancasilais menjadi orientasi tujuan pendidikan yaitu menjadikan manusia indonesia seutuhnya.Bangsa Indonesia juga sangat menghargai perbedaan dan mencintai demokrasi yang terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang maknanya “berbeda tetapi satu.” Dari semboyan tersebut bangsa Indonesia juga sangat menjunjung tinggi hak-hak individu sebagai mahluk Tuhan yang tak bisa diabaikan oleh siapapun. Anak sebagai mahluk individu yang sangat berhak untuk mendaptkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Dengan pendidikan yang diberikan diharapkan anak dapat tumbuh sesuai dengan potensi yang dimilkinya, sehingga kelak dapat menjadi anak bangsa yang diharapkan. Melalui pendidikan yang dibangun atas dasar falsafah pancasila yang didasarkan pada semangat Bhineka Tunggal Ika diharapkan bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang tahu akan hak dan kewajibannya untuk bisa hidup berdampingan, tolong menolong dan saling menghargai dalam sebuah harmoni sebagai bangsa yang bermartabat.
            Dalam banyak literature kurikulum diartikan sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik. Kurikulum dalam bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap proses pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para pengambil keputusan yang digunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum sebagai suatu pengalaman.
Aspek yang tidak terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum sebagai dokumen adalah bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran tertentu tentang kualitas pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau ide akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik sebagai dokumen mau pun sebagai pengalaman belajar.
Pengaruh pandangan filosofi terhadap pengertian kurikulum ditandai oleh pengertian kurikulum yang dinyatakan sebagai "subject matter", "content" atau bahkan "transfer of culture". Khusus yang mengatakan bahwa kurikulum sebagai "transfer of culture" adalah dalam pengertian kelompok akhli yang memiliki pandangan filosofi yang dinamakan perennialism.[1] Filsafat ini memang memiliki tujuan yang sama dengan essentialism dalam hal intelektualitas. Seperti dikemukakan oleh Tanner dan Tanner keduanya pandangan filosofi itu berpendapat bahwa adalah tugas kurikulum untuk mengembangkan intelektualitas. Dalam istilah yang digunakan Tanner dan Tanner perennialism mengembangkan kurikulum yang merupakan proses bagi "cultivation of the rational powers: academic excellence" sedangkan essentialism memandang kurikulum sebagai rencana untuk mengembangkan "academic excellence dan cultivation of intellect". Perbedaan antara keduanya adalah menurut pandangan perenialism "the cultivation of the intellectual virtues is accomplish only through permanent studies that constitute our intellectual inheritance". Permanent studies adalah konten kurikulum yang berdasarkan tradisi Barat terdiri atas Great Books, reading, rhetoric, and logic, mathematics. Sedangkan bagi essentialism beranggapan bahwa kurikulum haruslah mengembangkan "modern needs through the fundamental academic disciplines of English, mathematics, science, history, and modern languages".[2]
Kurikulum sebagai rancangan segala kegiatan yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan tetap memiliki peran yang penting, setidaknya, dalam mewarnai kepribadian seseorang. Oleh karenanya, kurikulum perlu dikelola dengan baik. Pemikir pendidikan Islam mungkin pernah berfikir kurikulum atau manajemen kurikulum seperti apakah yang direpkan di dunia Islam pada masa kejayaannya dahulu sehingga mampu melahirka filosof dan ilmuwan Islam yang sangat potensial.[3] Demikian juga mengapa kurikulum pesantren pada masa lalu yang sederhana mampu melahirkan kiai-kiai besar, sementara kurikulum pesantren masa kini justru mampu melahirkan kiai-kiai besar. Kenyataan ini jika diperhatikan dari sisi kesadaran akanmudah dijawab, tetapi bila diperhatikan dari segi kurikulum, lebih sulit dijelaskan. Layaknya ada misteri dalam permasalahan kurikulm yang belum terpecahkan.

B.      POSISI KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN
Kurikulum memiliki posisi sentral dalam setiap upaya pendidikan. Posisi sentral ini menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan kependidikan yang utama adalah proses interaksi akademik antara peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa setiap interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat dilakukan tanpa interaksi dan kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.
Dalam posisi maka kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat. “Lembaga pendidikan tersebut harus dapat memberikan "academic accountability" dan "legal accountability" berupa kurikulum. Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum maka ia harus mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan tersebut”.[4]
Dalam pengertian "intrinsic" kependidikan maka kurikulum adalah jantung pendidikan Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah didasarkan pada apa yang direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah kehidupan yang dirancang berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum. Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan adalah didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik di kelas, di sekolah, dan di luar sekolah dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan kurikulum. Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi kualitas pribadi yang maksimal.
Kurikulum pendidikan Islam memiliki cirri-ciri tertentu. Al-Syaibani mencatat cirri-ciri tersebut sebagai berikut:
1.      Menonjolkan tujuan agama dan ahklak pada berbagai tujuan, kandungan, metode, alat, dan tehniknya.
2.      Memiliki perhatian yang luas dan kandungan yang menyeluruh
3.      Memiliki keseimbangan antara kandungan kurikulum dari segi ilmu dan seni, kemestian, pengalaman, dan kegiatan pengajaran yang beragam
4.      Berkecenderungan pada seni halus, aktivitas pendidikan jasmani, latihan militer, pengetahuan tekhnik, latihan kejujuran, dan Bahasa asing untuk perorangan maupun bagi mereka yang memiliki kesediaan, bakat, dan keinginan.
5.      Keterkaitan kurikulum dengan kesediaan, minat, kemampuan, kebutuhan, dan perbedaan perorangan di antara mereka. [5]
Ciri-ciri ini menggambarkan adanya berbagai tuntunan yang harus ada dalam kurikulum pendidikan Islam. Tuntutan ini terus berkembang sesuai dengan tantangan zamanyang sedang dihadapi. Tantangan pendidikan Islam di zaman sekarang sangat tentu berbeda dengan zaman klasik dulu.
Untuk menegakkan akuntabilitasnya maka kurikulum tiak boleh hanya membatasi diri pada persoalan pendidikan dalam pandangan perenialisme atau esensialisme. Kedua pandangan ini hanya akan membatasi kurikulum, dan pendidikan, dalam kepeduliaannya. Kurikulum dan pendidikan melepaskan diri dari berbagai masalah social yang muncul, hidup, dan berkembang di masyarakat. Kurikulum menyebabkan sekolah menjadi lembaga menara gading yang tidak terjamah oleh keadaan masyarakat dan tidak berhubungan dengan masyarakat. Situasi seperti ini tidak dapat dipertahankan dan kurikulum harus memperhatikan tuntutan masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa mendatang. Problema masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi kepeduliaan dan masalah kurikulum. Apakah kurikulum bersifat mengembangkan kualitas peserta didik yang diharapkan dapat memperbaiki masalah dan tatangan masyarakat ataukah kurikulum merupakan upaya pendidikan membangun masyarakat baru yang diinginkan bangsa menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda.
Secara singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah kurikulum adalah "construct" yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan. Pengertian kurikulum berdasarkan pandangan filosofis perenialisme dan esensialisme sangat mendukung posisi pertama kurikulum ini. Kedua, adalah kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah social yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi ini dicerminkan oleh pengertian kurikulum yang didasarkan pada pandangan filosofi progresivisme. Posisi ketiga adalah kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan.
Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan pendidikan lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar pendidikan bangsa Indonesia yang diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar. Apabila pendidikan dasar Indonesia adalah 9 tahun maka tujuan pendidikan nasional harus tercapai dalam masa pendidikan 9 tahun yang dialami seluruh bangsa Indonesia. Tujuan di atas pendidikan dasar tidak mungkin tercapai oleh setiap warganegara karena pendidikan tersebut, pendidikan menengah dan tinggi, tidak diikuti oleh setiap warga bangsa. Oleh karena itu kualitas yang dihasilkannya bukanlah kualitas yang harus dimiliki seluruh warga bangsa tetapi kualitas yang dimiliki hanya oleh sebagian dari warga bangsa.


C.    Fungsi Pengembangan Kurikulum
1.      Tujuan Kurikulum
Tujuan kurikulum pada dasarnya merupakan tujuan setiap program pendidikan yang diberikan kepada anak didik, Karena kurikulum merupakan alat antuk mencapai tujuan, maka kurikulum harus dijabarkan dari tujuan umum pendidikan. Dalam sistem pendidikan di Indonesia tujuan pendidikan bersumber kepada falsafah Bangsa Indonesia. Di Indonesia ada 4 tujuan utama yang secara hirarki sebagai baerikut:
a.       Tujuan Nasional
Dalam Undang-undang No. 2 tahun 1980 tentang sistem Pendidikan Nasional rumusan tujuan pendidikan nasional disebutkan Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan. Kesehatan asmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tariggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dari tujuan nasional kemudian dijabarkan ke dalam tujuan insitusional/ lembaga, tujuan kurikuler, sampai kepada tujuan insfruksional dengan penjabaran sebagai berikut:
b.      Tujuan Intitusional
Tujuan institusional adalah tujuan yang harus dicapai oleh suatu lembaga pendidikan, umpamanya MI. MTs, MA, SD, SMP, SMA, dan sebagainya. Artinya apa yang harus dimiliki anak didik setelah menamatkan lembaga pendidikan tersebut, Sebagai contoh, kemampuan apa yang harus dimiliki anak didik setelah menamatkan lembaga pendidikan iersebut. Sebagai contoh, kemampuan apa yang diharapkan dimiliki oleh anak yang tamat MI, MTs, atau Madrasah Aliyah. Rumusan tujuan institusional harus merupakan penjabaran dan tujuan umum (riasional), harus memiliki kesinambungan antara satu jenjang pendidikan tinggi dengan jenjang Iainnya (MI, MTs, dan MA sampal ke IAIN/ perguruan tinggi). Tujuan institusional juga harus memperhatikan fungsi dan karakter dari lembaga pendidikannya, seperti lembaga pendidikan umum, pendidikan guru dan sebagainya.
c.       Tujuan Kurikuler
Tujuan kurikuler adalah penjabaran dan tujuan kelembagaan pendidikan (tujuan institusiorial). Tujuan kurikuler adalah tujuan di bidang studi atau mata pelajaran sehingga mencerminkan hakikat keilmuan yang ada di dalamnya. Secara oerasional adalah rumusan kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki anak didik setelah mempelajari suatu mata pelajaran atau bidang studi tersebut.
d.      Tujuan Instruksional
Tujuan instruksional dijabarkan dari tujuan kurikuler. Tujuan ini adalah tujuan yang langsung dihadapkan kepada anak didik sebab hrus dicapai oIeh mereka setelah menempuh proses belajar-mengajar. Oleh karena itu tujuan instruksional dirumuskan sebagai kemampuan-kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh anak didik setelah mereka menyelesaikan proses belajar-mengajar. Ada dua jenis tujuan institusional, yaitu tujuan instruksional umum (TIU) dan tujuan instruksional khusus (TIK). Perbedaan kedua tujuan tersebut terletak dalam hal kemampuan yang diharapkan dikuasai anak didik. Pada TIU sifatnya lebih luas dan mendalam, sedangkan TIK lebih terbatas dan harus dapat diukur pada saat berlangsungnya proses belajar-mengajar. Dengan demikian TIK harus lebih operasional dan mudah dilakukan pengukuran.
2.      Fungsi Kurikulum Bagi Anak Didik
Keberadaan kurikulum sebagai organisasi belajar tersusun merupakan suatu kesiapan anak. Anak didik diharapkan mendapat sejumlah pengalaman baru yang dapat dikembangkan seirama dengan perkembangan anak, agar dapat memenuhi bekal hidupnya kelak. Kalau kita kaitkan dengan pendidikan islam, pendidikan harus berorientasikan kepada kepentingan peserta didik, dan perlu diberikan pengetahuan untuk pada zamannya kelak. Nabi Muhammad SAW brsabda: “Didiklah anak-anakmu, karena mereka diciptakan untuk menghadapi zaman yang lain dari zamanmu”. Sebagai alat dalam mencapai tujuan pendidikan, kurikulum diharapkan mampu menawarkan program-program pada anak didik yang akan hidup pada zamannya, dengan latar belakang sosio historis dan cultural yang berbeda dengan zaman dimana kedua orangtuanya berada.
3.      Fungsi Kurikulum Bagi Pendidik Guru
 Guru merupakan pendidik professional, yang mana secara implicit ia telah merelakan dirinya untuk memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang ada di pundak orangtua. Para orangtua yang menyerahkan anaknya ke sekolah, berarti ia telah melimpahkan sebagian tanggung jawab pendidikan anaknya kepada guru atau pendidik.
Adapun fungsi kurikulum bagi guru atau pendidik adalah:
·         Sebagai pedoman kerja dalam menyusun dan mengorganisir pengalaman belajar pada anak didik.
·         Sebagai pedoman untuk mengadakan evaluasi terhadap perkembangan anak didik dalam rangka menyerap sejumlah pengalaman yang diberikan.
Dengan adanya kurikulum sudah tentu tugas guru sebagai pengajar dan pendidik akan lebih terarah. Pendidik adalah salah satu faktor yang sangat menntukan dalam proses pendidikan, dan merupakan salah satu kompenen yang berinteraksi secara aktif dalam pendidikan.
4.      Fungsi Kurikulum Bagi Kepala Sekolah / Pembina Sekolah
a)      Kepala sekolah merupakan administrator dan supervisor yang mempunyai tanggung jawab terhadap kurikulum. Fungsi kurikulum bagi kepala sekolah dan para Pembina sekolah lainnya adalah:
Sebagai pedoman dalam mengadakan fungsi supervise yakni memperbaiki situasi belajar
b)      Sebagai pedoman dalam melaksanakan fungsi supervise dalam menciptakan situasi belajar anak kea rah yang lebih baik.
c)      Sebagai pedoman dalam memberikan kepada guru atau pendidi k agar dapat memperbaiki situasi belajar
d)     Sebagai seorang administrator maka kurikulum dapat dijadikan pedoman untuk mengembangkan kurikulum pada masa datang.
e)      Sebagai pedoman untuk mengadakan evaluasi atas kemajuan belajar-mengajar.
5.    Fungsi Kurikulum Bagi Orang Tua
Kurikulum bagi orangtua, mempunyai fungsi agar orangtua dapat berpastisipasi membantu usaha sekolah dalam memajukan putra-putrinya.Bantuan yang dimaksud dapat berupa konsultasi langsung dengan sekolah/guru mengenai masalah yang menyangkut anak-anak mereka. Adapun bantuan berupa materi dari orangtua anak melalui Bp-3. Dengan membaca dan memahami kurikulum sekolah, para orangtua dapat mengetahui pengalaman belajar yang diperlukan anak-anak mereka. Dengan demikian partisipasi orangtua inipun tidak kalah penting dalam menyukseskan proses belajar mengajar di sekolah. Meskipun orangtua telah menyerahkan anak-anak mereka kepada sekolah agar diajarkan dengan ilmu pengetahuan dan dididik menjadi orang yang bermanfaat bagi pribadinya, orangtua, keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama.
 Namun tidak berarti tanggung jawab kesuksesan anaknya secara total menjadi tanggung jawab guru dan sekolah. Sebenarnya keberhasilan tersebut merupakan suatu sistem kerjasama berdasarkan fungsi masing-masing, yakni orangtua, sekolah, dan guru.Oleh karena itu, pemahaman orangtua mengenai kurikulum merupakan hal yang mutlak.
6.      Fungsi Kurikulum bagi sekolah tingkat diatasnya
a.       pemelihara keseimbangan proses pendidikan.
Dengan mengetahui kurikulum sekolah pada tingkat tertentu maka kurikulum pada tingkat atasnya dapat mengadakan penyesuaian. Misalnya, pada suatu bidang telah diberikan pada kurikulum sekolah ditingkat bawahnya, harus dipertimbangkan lagi pemeliharaanya pada kurikulum sekolah tingkat diatasnya , terutama dalam hal pemilihan bahan pengajaran. Penyesuaian bahan tersebut dimaksudkan untuk menghindari keterulangan penyampaian yang bisa berakibat pemborosan waktu, dan yang lebih penting lagi adalah untuk menjaga kesinambungan bahan pengajaran itu.
b.      Penyiapan tenaga baru
            Di samping itu, terdapat juga kurikulum yang berfungsi untuk menyiapkan tenaga pengajar. Bila suatu sekolah atau lembaga pendidikan bertujuan menghasilkan tenaga guru (LPTK), maka lembaga tersebut harus mengetahui kurikulum sekolah pada tingkat dibawahnya tempat calon guru yang dipersiapkan itu akan mengajar. Misalnya murid SPG harus mengetahui kurikulum SD, mahasiswa IKIP/FKG harus menguasai kurikulum SLTP dan SMU.
7.        Fungsi Kurikulum bagi masyarakat dan pemakai lulusan
Kurikulum suatu sekolah juga memiliki fungsi bagi masyarakat dan pihak pemakai lulusan sekolah bersangkutan. Dengan mengetahui kurikulum pada suatu sekolah, masyarakat, sebagai pemakai lulusan dapat melaksanakan sekurang-kurangnya dua macam:
a)    Ikut memberikan kontribusi,dalam memperlancar program pendidikan yang membutuhkan kerjasama dengan pihak orangtua dan masyarakat.
b)   Ikut memberikan kritik dan saran yang konstruktif demi penyempurnaan program pendidikan di sekolah, agar lebih serasi dengan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja.
8.      Disamping kurikulum mempunyai tujuan yang telah dikemukakan diatas, kurikulum juga mempunyai fungsi lain, sebagaimana dikemukakan oleh Alexander Inglis dalam bukunya principle of secondary education (1918) sebagai berikut:
a)      Fungsi penyesuaian
Anak didik hidup dalam suatu lingkungan. Dia harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut. Lingkungan senantiasa berubah, tidak statis, bersifat dinamis, maka anak didik diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang demikian. Oleh Karena itu, program pendidikan yang diarahkan dengan berbagai aspek kehidupannya, sarana, dan juga usaha mereka dalam mengembangkan kehidupan sebagai individu, anggota masyarakat, dan warga Negara.
b)        Fungsi pengintegrasian
Maksudnya, orientasi dan fungsi kurikulum untuk mendidik individu anak didik yang mempunyai pribadi yang integral. Mengingat individu anak didik merupakan bagian yang integral dari masyarakat, makapribadi yang integrasi itu akan memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan atau pengintegrasian masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum kurikulum diharapkan mampu mempersiapkan anak didik agar mampu mengintegasikan diri dalam masyarakat, dengan modal pengetahuan, pengalaman, ketrampilan, dan cara berpikir yang dimiliki, sehingga ia dapat berperan dan memberikan kontribusi kepada masyarakat.
c)      Fungsi pembeda
Pada prinsipnya, potensi yang dimiliki anak didik itu memang berbeda-beda. Dan peran pendidikanlah untuk mengembangkan potensi- potensi yang ada itu secara wajar, sehingga anak didik dapat hidup dalam masyarakat yang senantiasa beraneka ragam namun satu tujuan dengan pembangunan tersebut. Berkaitan dengan diferensiasi pada anak didik tersebut sesuai hadist Nabi SAW, beliau bersabda: “Kami para Nabi diperintahkan untuk menempatkan manusia sesuai dengan potensi akalnya (H. R. Abu Bakar bin Asy-Syakir). Hadist ini dapat diintepretasikan bahwa pendidikan harus diorientasikan kepada pengembangan potensi yang berbeda-beda dari anak didik, sehingga perlakuan terhadap mereka sepatutnya mempertimbangkan perbedaan kemampuan dan potensi masing-masing.
d)     Fungsi persiapan
Kurikulum berfungsi mempersiapkan anak didik agar mampu melanjutkan studi lebih lanjut untuk suatu jangkauan yang lebih jauh. Apakah anak didik melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi atau persiapan untuk belajar di masyarakat seandainya ia tidak mungkin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Mempersiapkan untuk belajar lebih lanjut tersebut sangat diperlukan mengingat sekolah tidak mungkin memberikan semua apa yang diperlukan anak didik, termasuk dalam pemenuhan akan minat mereka
e)      Fungsi pemilihan
Pada penjelasan sebelumnya telah dijelaskan fungsi kurikulum itu diantaranya diferensiasi, Dimana antara diferensiasi (perbedaan) dengan pemilihan (seleksi) merupakan dua hal yang erat hubungannya. Pengakuan atas ke berbedaan berarti pula memberikan kesempatan bagi anak didik dalam hal memilih apa yang diinginkannya dan menarik minatnya. Karenanya, dalam pengembangan-pengembangan tersebut, maka kurikulum perlu disusun secara luas dan bersifat fleksibel dan luwes. Kurikulum hendaknya dapat memberikan pilihan yang tepat sesuai dengan minat dan kemampuan peserta didik.
f)       Fungsi diagnostic
Fungsi diagnose bertujuan agar siswa dapat mengadakan evaluasi kepada dirinya, menyadari semua kelemahan dan kekuatan yang ada pada dirinya, sehingga dapat memperbaiki dan mengembangkannya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada, yang akhirnya dapat dikembangkan secara maksimal dalam masyarakat.
Pengembangan kurikulum dapat dilaksanakan pada berbagai tingkat, mulai dari tingkat kelas sampai tingkat nasional. Urutan tingkat tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:
1.      Pengembangan kurikulum pada tingkat guru kelas,
2.      Pengembangan kurikulum pada tingkat kelompok guru dalam suatu sekolah,
3.      Pengembangan kurikulum pada tingkat pusat guru (teachers center),
4.      Pengembangan kurikulum pada tingkat daerah,
5.      Pengembangan kurikulum pada tingkat Nasional.
Hal ini menunjukkan bahwa guru merupakan ujung tombak pendidikan. Karena itu, para guru dituntut mampu mengembangkan kurikulum pembelajaran di kelas yang didasarkan pada teori-teori pengembangan kurikulum dan pengalaman mengajar di kelas sebagai figure pelaksanan kurikulum. Guru merupakan pelaku pendidikan yang paling mengenal kondisi para siswa yang diajar didalam kelas.
Selanjutnya Hamalik menyatakan bahwa pengembangan kurikulum harus dikaitkan dengan perkembangan komponen yang mendasari perencanaan dan pengembangan kurikulum . komponen-komponen itu adalah pengembangan tujuan pendidikan, perkembangan teori belajar, perkembangan siswa, perkembangan kultur, dan perkembangan kurikulum yang digunakan.[6]
D.    Peranan Pengembangan Kurikulum
Kurikulum bagi program pendidikan dimana sekolah sebagai institusi sosial melaksanakan  oprerasinya, paling tidak dapat ditentukan 3 jenis kurikulum:
a.       Peranan Konservatif
Menekankan bahwa kurikulum itu dapat dijadikan sebagai sarana untuk mentramisikan nilai-nilai warisan budaya masa lalu yang dianggap masih relevan dengan masa kini bagi generasi muda.
b.      Peranan Kritis dan evaluative
Perkembangan ilmu pengetahuan dan aspek-aspek lainnya senantiasa terjadi setiap saat. Peranan kreatif menekankan bahwa kurikulum harus mampu mengembangkan sesuatu yang baru sesuai dengan perkembangan.
c.       Peranan Aktif
Peranan ini dilatar belakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilai-nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Sehingga pewarisan dan nilai-nilai budaya masa lalu.kepada siswa perlu disesuaikan dengan masa sekarang.

E.     Perubahan Kurikulum dan Pelaksanaan Praktis
Isu mengenai Kurikulum 2013 memunculkan beragam tanggapan terutama yang bersifat kritik tajam terhadap praktik pembuatan kebijakan pendidikan. Kebanyakan mempertanyakan aspek kesiapan, landasan dan naskah akademik perubahan, evaluasi terhadap kurikulum sebelumnya, logika pembuatan kebijakan, penganggaran dan motif politis dari proyek Kurikulum 2013. Sebaliknya, pemerintah menganggap kritik itu muncul dari pihak di luar pemain utama pendidikan yang memanfaatkan peran media. Pada saat yang bersamaan, suara praktisi, terutama guru, berada di kesunyian yang gaduh.
Terlepas dari itu semua, terdapat dua hal terkait dengan perubahan kurikulum. Pertama, perlunya perubahan cara pikir dari project thinking menuju process thinking, Kedua, apapun kurikulumnya, pelaksanaannya sangat bergantung pada guru sebagai garda depan pelaksana kebijakan. Implementasi kurikulum sebagai kebijakan memerlukan professional judgement dari guru sebagai adaptive expert. [7]Keduanya meniscayakan terbangunnya budaya belajar di komunitas pendidik dalam mengkaji praktik pengajaran dan pembelajaran serta pengelolaan sekolah.
Paparan ini memfokuskan pada peranan daya tafsir atau kemampuan interpretasi maupun ‘sense-making’ pendidik sebagai implementing agent kebijakan pendidikan seperti kurikulum. Diawali dengan pembahasan perspektif implementation research terkait upaya membangun kapasitas dan kemandirian professional guru yang dilanjutkan dengan ilustrasi isu praktis dari upaya membangun daya tafsir pendidik melalui serangkaian diskusi informal terfokus praktik pengajaran dan budaya sekolah.[8]
Spillane et al. memandang guru sebagai ‘sense-maker’ yang kapasitasnya dipengaruhi oleh tata nilai, emosi dan daya nalar yang diyakini dan dipahaminya serta oleh konteks sosial dimana ia bekerja. Interaksi sosial, konteks organisasi dan historis sekolah serta budaya kerja mempengaruhi daya tafsir implementasi kurikulum. Kombinasi aspek intra- dan interpersonal tersebut menyediakan pola dan distribusi keyakinan dan pengetahuan yang melandasi interpretasi para pendidik dalam mengimplementasikan kurikulum. Oleh karena itu, kebijakan kurikulum perlu menyentuh aspek praktik serta menyediakan kesempatan belajar bagi para pendidik untuk melakukan pengkajian agar dapat menajamkan kepekaan profesionalnya dalam memaknai pengajaran dan pembelajaran.
Membangun budaya belajar yang memfokuskan pengkajian terhadap praktik pengajaran dan pembelajaran dihadapkan pada berbagai tantangan. Berbagai studi tentang ‘professional learning community’ membahas tentang peran kepemimpinan, bantuan fasilitasi eksternal (kemitraan), daya mampu pendidik sebagai pengakar yang pembelajar. Terlepas dari itu semua, bagaimana sekolah membuat kebijakan tentang pengkajian kurikulum dan pedagogi serta memosisikan guru sebagai pembuat kebijakan (policy subjects) menjadi isu penting.
Isu tersebut berkenaan dengan bagaimana pengetahuan dan sistem keyakinan guru tentang, misalnya, matematika, kurikulum matematika, pengajaran matematika dan pembelajaran matematika. Tujuannya adalah menggali ‘mental image’ atau ‘medan gestalt[9] guru tentang bagaimana mempelajari matematika yang dihubungkan dengan perspektif peserta didik. Kajiannya mencakup analisis perbandingan kurikulum dan buku teks Indonesia, Singapura dan Jepang yang disertai dengan simulasi berpikir matematis dan uji coba di kelas. Hasil kajian terhadap praktik tersebut terungkap adanya kesenjangan konsepsi guru-siswa yang mengimplikasikan perlunya kriteria kesatuan, keterpaduan dan keluwesan pedagogis guru. Hal ini dikembangkan melalui sajian bahan ajar yang terfokus membangun pola pikir matematis anak melalui pemecahan masalah yang menantang. Dalam hal ini, tim matematika memikirkan bagaimana sajian masalah yang menantang itu dari segi ‘kompetensi matematika’ dan bagaimana prediksi dan antisipasi respon siswa dengan beragam kemampuannya terhadap masalah tersebut. Proses tersebut menghasilkan pemetaan alur belajar dan strategi bantuan guru di kelas yang dalam pembahasannya membantu penajaman daya tafsir guru dalam mengembangkan pengajaran (prospective sense-making). Pemetaan tersebut membantu guru dalam melaksanakan pengajaran (enactive sense-making) dan tim dalam mengobservasi dan merefleksikan pengajaran (retrospective sense-making) yang memunculkan berbagai pertanyaan untuk digali lebih lanjut.
Dari pengkajian tersebut, mengemuka beberapa tafsiran yang mungkin selama ini bertentangan dengan kebiasaan yang lazim terjadi di Indonesia. Tafsiran itu dikembangkan dari upaya menghubungkan antara proses belajar guru dengan proses belajar siswa Beberapa diantaranya: 1) guru bukan mengajarkan matematika tapi belajar matematika?; 2) isi kurikulum/buku teks tidak perlu diajarkan seluruhnya dan guru tidak perlu terpaku pada urutan kaku; 3) peran guru memilih apa yang penting untuk anak sesuai perkembangannya; 4) sajian masalah yang menantang menstimulasi berpikir semua anak, bahkan anak yang ‘pintar’ cenderung mengalami kesulitan daripada siswa yang ‘biasa’; 5) perkembangan anak bersifat berkelanjutan sehingga perlu analisis dan desain kemajuan belajar berbasis kolaborasi; 6) waktu belajar efektif setiap sesi pertemuan bagi anak SD adalah kurang dari 50-60 menit sehingga perlu redesain pembelajaran yang efisien serta penyikapan terhadap alokasi waktu 2x35 menit; 7) sistem point-rewards bisa jadi membangun iklim kompetisi dan kegaduhan anak di kelas; 8) ada potensi teknik ‘scaffolding penularan anak’ akan lebih baik daripada ‘scaffolding guru’; 9) kombinasi analisis ‘breakthrough’ dan ‘obstacle’ belajar pada anak mendasari desain pelajaran yang lebih baik; dan 10) ada perbedaan antara ‘thoughtful’ vs. ‘joyful’ learning.
Akhirnya, walaupun pendekatan Kurikulum 2013 lebih terpusat, daripada KTSP yang lebih memberi ruang kreatif guru, pada akhirnya panduan buku teks yang kemungkinan sangat kaku dan seragam tidak bisa mengingkari keragaman konteks dan situasi. Karena itu, keputusan pedagogis guru terhadap implementasi Kurikulum 2013 akan tetap memainkan peran penting dimana daya tafsir guru melandasi setiap kebijaksanaan praktis guru. Kiranya hal inilah yang sebaiknya menjadi fokus pengkajian dan pembelajaran kita sebagai komunitas pendidik.














BAB III
P E N U T U P
A.  Kesimpulan
Pemahaman kurikulum yang didasarkan pada permikiran atau filsafat pendidikan klasik yang menganggap kurikulum adalah program pendidikan yang diberikan secara direncanakan di sekolah.Dalam pengalaman sehari-hari, sering didengarkan istilah fungsi. Fungsi membawa akibat pada adanya hasil.
Jika sesuatu itu berfungsi maka berakibat pada adanya hasil. Demikian juga sebaliknya, jika sesuatu itu tidak berfungsi akan berakibat pada tidak tercapainya hasil yang diharapkan (tujuan). Atas dasar tersebut, dapat dikatakan bahwa fungsi kurikulum berkaitan dengan komponen-komponen yang ada dan mengarah pada tujuan-tujuan pendidikan. Sudah jelas bahwa kurikulum mempunyai fungsi dan peranan yang sangat penting dalam maju mundurnya pendidikan yang dilaksanakan, karena dalam fungsi dan peran kurikulum menyangkut semua aspek-aspek yang terlibat dalam system pendidikan, dimana semua terkait dan saling melengkapi.
Berdasarkan rincian pembahasan diatas dapat ditarik pemahaman bahwa manajemen kurikulum sebenarnya menekankan pada strategi pengelolaan proses pembelajaran secara efektif dan efisien untuk mencapai hasil pendidikan secara maksimal. Proses pembelajaran tampaknya memang menjadi penentu kualitas pendidikan pendidikan melebihi komponen-komponen lainnya. Namun demikian semua komponen tetap diperlukan untuk mewujudkan tujuan pendidikan.

B.  Saran
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat berbagai kekeliruan baik dari segi penulisan maupun pembahasan yang termuat dalam makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan masukan dan kritikan dari para peserta diskusi mata kuliah Analisis isu dan kebijakan Pendidikan Islam pada program Pascasarjana STAIN Sultan Qaimuddin Kendari tahun ajaran 2014/2015, sehingga makalah ini dapat menambah wawasan pengetahuan kita tentang tujuan dan manfaat dari pembiayaan Pendidikan Islam.
Daftar Pustaka

Doll, W.E. (1993). A Post-Modern Perspective on Curriculum. New York and London:  Teachers College, Columbia University
Dr. Mukhamad Ilyasin, M.Pd, Manajemen Pendidikan Islam, Malang:Aditya Media Publishing, 2012.

Made Pidarta, 2000. Landasan Kependidikan : Rineka Cipta, Jakarta
Nana Syaodih Sukmadinata, 2008. Pengembangan Kurikulum, Teori dan praktek. Rosdakarya, Bandung
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, Malang:Erlangga, 2007.

Subandijah, 1996.Pengembangan dan Inovasi kurikulum : Grafindo persada, Jakarta

Suratno, Perubahan Kurikulum dan Pelaksanaan Praktis: Peranan Daya Tafsir Pendidik, Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Serang, 2007.  

Tanner, D. dan Tanner,L. (1980). Curriculum Development: Theory into Practice. New York: Macmillan Publishing Co.,Inc.


[1] Tanner, D. dan Tanner,L. (1980). Curriculum Development: Theory into Practice. New York: Macmillan Publishing Co.,Inc.hal-104
[2] Ibid, Tanner, D. dan Tanner,L. .hal-109
[3] Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, Malang:Erlangga, 2007, hal-150
[4] Made Pidarta, 2000. Landasan Kependidikan : Rineka Cipta, Jakarta, hal-14

[5] Mujamil Qomar, hal-151
[6] Hamalik  Oemar,  Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006, hal 22.  
[7] Darling-Hammond, L., and Sykes, G. (1999). Teaching as the learning profession. Handbook of policy and practice. San Francisco: Jossey-Bass.
[8] Spillane, J., Reiser, B., and Reimer, T. (2002). Policy implementation and cognition: Reframing and refocusing implementation research. Review of Educational Research. Vol. 72, No. 3, pp. 387-431.

[9] Korthagen, F. (2010). Situated learning theory and the pedagogy of teacher education: Toward integrative view of teacher behavior and teacher learning. Teaching and Teacher Education. Vol. 26, pp. 98.
Hamalik  Oemar,  Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006

1 komentar: