ISU KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
TENTANG KURIKULUM
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah kurikulum secara sederhana diartikan sebagai sejumlah
mata pelajaran yang harus ditempuh/ diselesaikan anak didik untuk memperoleh
ijazah.
Dalam dunia pendidikan istilah kurikulum telah dikenal sejak kurang lebih satu abad yang lampau. Dalam kamus Webster lahuri 1856 untuk pertama kalinya digunakan istilah kurikulum. Pada waktu itu kurikulum dipakai dalam bidang olah raga, yaitu suatu alat yang dibawa seorang sejak start sampai finish”. Dalam kurun waktu yang berbeda istilah kurikulum muncul dengan berbagai definisi, misalnya diartikan sebagai mata pelajaran yang harus diambil untuk suatu pendidikan atau training. Kurikulum sama dengan isi buku teks, garis-garis besar program pendidikan (GBPP), pedoman guru, serta alat pelajaran yang diperlukan suatu mata pelajaran.
Dalam dunia pendidikan istilah kurikulum telah dikenal sejak kurang lebih satu abad yang lampau. Dalam kamus Webster lahuri 1856 untuk pertama kalinya digunakan istilah kurikulum. Pada waktu itu kurikulum dipakai dalam bidang olah raga, yaitu suatu alat yang dibawa seorang sejak start sampai finish”. Dalam kurun waktu yang berbeda istilah kurikulum muncul dengan berbagai definisi, misalnya diartikan sebagai mata pelajaran yang harus diambil untuk suatu pendidikan atau training. Kurikulum sama dengan isi buku teks, garis-garis besar program pendidikan (GBPP), pedoman guru, serta alat pelajaran yang diperlukan suatu mata pelajaran.
Pemahaman kurikulum yang didasarkan pada permikiran atau
filsafat pendidikan klasik yang menganggap kurikulum adalah program pendidikan
yang diberikan secara direncanakan di sekolah.Dalam
pengalaman sehari-hari, sering didengarkan istilah fungsi. Fungsi membawa
akibat pada adanya hasil. Jika sesuatu itu berfungsi maka berakibat pada adanya
hasil. Demikian juga sebaliknya, jika sesuatu itu tidak berfungsi akan
berakibat pada tidak tercapainya hasil yang diharapkan (tujuan). Atas dasar
tersebut, dapat dikatakan bahwa fungsi kurikulum berkaitan dengan
komponen-komponen yang ada dan mengarah pada tujuan-tujuan pendidikan.
Selama ini kurikulum dianggap sebagai penentu keberhasilan
pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Karena itu, perhatian para guru, dosen,
kepala sekolah/madrasah, ketua, rektor, maupun praktisi pendidikan terkonsentrasi
pada kurikulum. Padahal, kurikulum bukanlah penentu utama. Dalam kasus
pendidikan di Indonesia misalnya, problem paling besar yang dihadapi bangsah
ini sesungguhnya bukan problem kurikulum, meskipun bukan berarti kurikulum
tidak menimbulkan problem. Namun masalah kesadaran merupakan problem yang
paling besar. Yaitu lemahnya kesadaran untuk berprestasi, kesadaran untuk sukses,
kesadaran untuk meningkatkan SDM, kesadaran untuk menghilangkan kebodohan,
maupun kesaaran untuk berbuat yang terbaik. Maka dari itu pergantian atau
perubahan kurikulum yang sering terjadi dalam setiap decade terkadang
menimbulkan berbagai pertanyaan dan pernyataan, dan hal ini tidak lepas dari
apa yang menjadi tujuan dari kurikulum itu sendiri, maka dari itu penulisan
makalah ini berjudul “Isu Kebijakan Pendidikan Islam tentang Kurikulum”.
B.
Rumusan
Masalah
Dalam
penulisan makalah ini penulis dapat merumuskan berbagai hal tentang isu
kebijakan pendidikan Islam tentang Kurikulum yang terdiri atas:
a. Bagaimana
Landasan filosofis tentang kurikulum?
b. Bagaimana
Posisi kurikulum dalam pendidikan?
c. Apa
fungsi dari pengembangan kurikulum?
d. Bagaimana
peranan pengembangan kurikulum?
e. Bagaimana
Perubahan Kurikulum dan Pelaksanaan Praktis?
C.
Tujuan
Penulisan Makalah
Tujuan dari penulisan
makalah ini adalah:
1. Untuk
mengetahui Landasan filosofis tentang kurikulum
2. Untuk
mengetahui Posisi kurikulum dalam pendidikan
3. Untuk
mengetahui fungsi dari pengembangan kurikulum
4. Untuk
mengetahui peranan pengembangan kurikulum
5. Untuk
mengetahui perubahan kurikulum dan pelaksanaan praktis
D.
Manfaat
a. Mahasiswa
mampu menjelaskan tentang landasan filosofis
b. Mahasiswa
diharapkan mampu menjelaskan posisi kurikulum dalam Pendidikan
c. Diharapkan
mahasiswa mampu menjelaskan tentang fungsi pengembangan kurikulum.
d. Mahasiswa
mampu menjelaskan tentang peran pengembangan kurikulum.
e. Mahasiswa
mampu memahami tentang perubahan Kurikulum dan pelaksanaan praktis.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Landasan
Filosofis
Pendidikan merupakan suatu upaya untuk memanusiakan manusia.
Artinya melalui proses pendidikan diharapkan terlahir manusia-manusia yang
baik. Standar manusia yang “baik” berbeda antar masyarakat, bangsa atau negara,
karena perbedaan pandangan filsafah yang menjadi keyakinannya. Perbedaan
filsafat yang dianut dari suatu bangsa akan membawa perbedaan dalam orientasi
atau tujuan pendidikan.
Bangsa Indonesia
yang menganut falsafah Pancasila berkeyakinan bahwa pembentukan manusia
Pancasilais menjadi orientasi tujuan pendidikan yaitu menjadikan manusia indonesia seutuhnya.Bangsa Indonesia juga sangat menghargai
perbedaan dan mencintai demokrasi yang terkandung dalam semboyan Bhinneka
Tunggal Ika yang maknanya “berbeda tetapi satu.” Dari semboyan tersebut bangsa Indonesia
juga sangat menjunjung tinggi hak-hak individu sebagai mahluk Tuhan yang tak
bisa diabaikan oleh siapapun. Anak sebagai mahluk individu yang sangat berhak
untuk mendaptkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Dengan pendidikan yang diberikan diharapkan anak dapat tumbuh sesuai dengan
potensi yang dimilkinya, sehingga kelak dapat menjadi anak bangsa yang
diharapkan. Melalui pendidikan yang dibangun atas dasar falsafah pancasila yang
didasarkan pada semangat Bhineka Tunggal Ika diharapkan bangsa Indonesia
dapat menjadi bangsa yang tahu akan hak dan kewajibannya untuk bisa hidup
berdampingan, tolong menolong dan saling menghargai dalam sebuah harmoni
sebagai bangsa yang bermartabat.
Dalam
banyak literature kurikulum diartikan sebagai: suatu dokumen atau rencana
tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik
melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa
kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana
tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai
kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum
tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini mengandung makna bahwa kurikulum
sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta
didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta didik,
kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik. Kurikulum dalam
bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap proses
pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para
pengambil keputusan yang digunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum
sebagai suatu pengalaman.
Aspek yang tidak
terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum sebagai dokumen
adalah bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran
tertentu tentang kualitas pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau
ide akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik
sebagai dokumen mau pun sebagai pengalaman belajar.
Pengaruh pandangan
filosofi terhadap pengertian kurikulum ditandai oleh pengertian kurikulum yang
dinyatakan sebagai "subject matter", "content" atau bahkan
"transfer of culture". Khusus yang mengatakan bahwa kurikulum sebagai
"transfer of culture" adalah dalam pengertian kelompok akhli yang
memiliki pandangan filosofi yang dinamakan perennialism.[1]
Filsafat ini memang memiliki tujuan yang sama dengan essentialism dalam hal
intelektualitas. Seperti dikemukakan oleh Tanner dan Tanner keduanya pandangan
filosofi itu berpendapat bahwa adalah tugas kurikulum untuk mengembangkan
intelektualitas. Dalam istilah yang digunakan Tanner dan Tanner perennialism
mengembangkan kurikulum yang merupakan proses bagi "cultivation of the
rational powers: academic excellence" sedangkan essentialism memandang
kurikulum sebagai rencana untuk mengembangkan "academic excellence dan
cultivation of intellect". Perbedaan antara keduanya adalah menurut
pandangan perenialism "the cultivation of the intellectual virtues is
accomplish only through permanent studies that constitute our intellectual
inheritance". Permanent studies adalah konten kurikulum yang berdasarkan
tradisi Barat terdiri atas Great Books, reading, rhetoric, and logic,
mathematics. Sedangkan bagi essentialism beranggapan bahwa kurikulum haruslah
mengembangkan "modern needs through the fundamental academic disciplines
of English, mathematics, science, history, and modern languages".[2]
Kurikulum sebagai
rancangan segala kegiatan yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan tetap
memiliki peran yang penting, setidaknya, dalam mewarnai kepribadian seseorang. Oleh
karenanya, kurikulum perlu dikelola dengan baik. Pemikir pendidikan Islam
mungkin pernah berfikir kurikulum atau manajemen kurikulum seperti apakah yang
direpkan di dunia Islam pada masa kejayaannya dahulu sehingga mampu melahirka
filosof dan ilmuwan Islam yang sangat potensial.[3]
Demikian juga mengapa kurikulum pesantren pada masa lalu yang sederhana mampu
melahirkan kiai-kiai besar, sementara kurikulum pesantren masa kini justru
mampu melahirkan kiai-kiai besar. Kenyataan ini jika diperhatikan dari sisi
kesadaran akanmudah dijawab, tetapi bila diperhatikan dari segi kurikulum,
lebih sulit dijelaskan. Layaknya ada misteri dalam permasalahan kurikulm yang
belum terpecahkan.
B. POSISI
KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN
Kurikulum memiliki
posisi sentral dalam setiap upaya pendidikan. Posisi sentral ini menunjukkan
bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan kependidikan yang utama adalah proses
interaksi akademik antara peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan.
Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa setiap interaksi akademik adalah jiwa
dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak
dapat dilakukan tanpa interaksi dan kurikulum adalah desain dari interaksi
tersebut.
Dalam posisi maka
kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap
masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka
untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah dapat
mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat. “Lembaga
pendidikan tersebut harus dapat memberikan "academic accountability"
dan "legal accountability" berupa kurikulum. Oleh karena itu jika ada
yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang ingin
dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji
kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman
belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan
hukum maka ia harus mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan
tersebut”.[4]
Dalam pengertian
"intrinsic" kependidikan maka kurikulum adalah jantung pendidikan
Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah didasarkan
pada apa yang direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah kehidupan
yang dirancang berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum. Pengembangan potensi
peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan adalah didasarkan pada
kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik di kelas, di sekolah, dan
di luar sekolah dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan kurikulum.
Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan sudah
dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang dicantumkan
dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan sekaligus
pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas apalagi
jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga
menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik
menjadi kualitas pribadi yang maksimal.
Kurikulum pendidikan
Islam memiliki cirri-ciri tertentu. Al-Syaibani mencatat cirri-ciri tersebut
sebagai berikut:
1. Menonjolkan
tujuan agama dan ahklak pada berbagai tujuan, kandungan, metode, alat, dan
tehniknya.
2. Memiliki
perhatian yang luas dan kandungan yang menyeluruh
3. Memiliki
keseimbangan antara kandungan kurikulum dari segi ilmu dan seni, kemestian,
pengalaman, dan kegiatan pengajaran yang beragam
4. Berkecenderungan
pada seni halus, aktivitas pendidikan jasmani, latihan militer, pengetahuan
tekhnik, latihan kejujuran, dan Bahasa asing untuk perorangan maupun bagi
mereka yang memiliki kesediaan, bakat, dan keinginan.
5. Keterkaitan
kurikulum dengan kesediaan, minat, kemampuan, kebutuhan, dan perbedaan
perorangan di antara mereka. [5]
Ciri-ciri ini
menggambarkan adanya berbagai tuntunan yang harus ada dalam kurikulum
pendidikan Islam. Tuntutan ini terus berkembang sesuai dengan tantangan zamanyang
sedang dihadapi. Tantangan pendidikan Islam di zaman sekarang sangat tentu
berbeda dengan zaman klasik dulu.
Untuk menegakkan
akuntabilitasnya maka kurikulum tiak boleh hanya membatasi diri pada persoalan
pendidikan dalam pandangan perenialisme atau esensialisme. Kedua pandangan ini
hanya akan membatasi kurikulum, dan pendidikan, dalam kepeduliaannya. Kurikulum
dan pendidikan melepaskan diri dari berbagai masalah social yang muncul, hidup,
dan berkembang di masyarakat. Kurikulum menyebabkan sekolah menjadi lembaga
menara gading yang tidak terjamah oleh keadaan masyarakat dan tidak berhubungan
dengan masyarakat. Situasi seperti ini tidak dapat dipertahankan dan kurikulum
harus memperhatikan tuntutan masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa
mendatang. Problema masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi
kepeduliaan dan masalah kurikulum. Apakah kurikulum bersifat mengembangkan
kualitas peserta didik yang diharapkan dapat memperbaiki masalah dan tatangan
masyarakat ataukah kurikulum merupakan upaya pendidikan membangun masyarakat
baru yang diinginkan bangsa menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda.
Secara singkat, posisi
kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah kurikulum
adalah "construct" yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah
terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan
atau dikembangkan. Pengertian kurikulum berdasarkan pandangan filosofis perenialisme
dan esensialisme sangat mendukung posisi pertama kurikulum ini. Kedua, adalah
kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah social
yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi ini dicerminkan oleh pengertian
kurikulum yang didasarkan pada pandangan filosofi progresivisme. Posisi ketiga
adalah kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana kehidupan masa
lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa
dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan.
Secara formal, tuntutan
masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam tujuan pendidikan nasional,
tujuan pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan pendidikan lembaga pendidikan.
Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar pendidikan bangsa Indonesia yang
diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar. Apabila pendidikan dasar
Indonesia adalah 9 tahun maka tujuan pendidikan nasional harus tercapai dalam
masa pendidikan 9 tahun yang dialami seluruh bangsa Indonesia. Tujuan di atas
pendidikan dasar tidak mungkin tercapai oleh setiap warganegara karena
pendidikan tersebut, pendidikan menengah dan tinggi, tidak diikuti oleh setiap
warga bangsa. Oleh karena itu kualitas yang dihasilkannya bukanlah kualitas
yang harus dimiliki seluruh warga bangsa tetapi kualitas yang dimiliki hanya
oleh sebagian dari warga bangsa.
C.
Fungsi
Pengembangan Kurikulum
1. Tujuan
Kurikulum
Tujuan kurikulum pada dasarnya merupakan tujuan setiap
program pendidikan yang diberikan kepada anak didik, Karena kurikulum merupakan
alat antuk mencapai tujuan, maka kurikulum harus dijabarkan dari tujuan umum
pendidikan. Dalam sistem pendidikan di Indonesia tujuan pendidikan bersumber
kepada falsafah Bangsa Indonesia. Di Indonesia ada 4 tujuan utama yang secara
hirarki sebagai baerikut:
a. Tujuan
Nasional
Dalam Undang-undang
No. 2 tahun 1980 tentang sistem Pendidikan Nasional rumusan tujuan
pendidikan nasional disebutkan Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia indonesia seutuhnya yaitu manusia
yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan. Kesehatan asmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tariggung jawab kemasyarakatan
dan kebangsaan. Dari tujuan nasional kemudian dijabarkan ke dalam tujuan
insitusional/ lembaga, tujuan kurikuler, sampai kepada tujuan
insfruksional dengan penjabaran sebagai berikut:
b. Tujuan
Intitusional
Tujuan institusional
adalah tujuan yang harus dicapai oleh suatu lembaga pendidikan, umpamanya MI.
MTs, MA, SD, SMP, SMA, dan sebagainya. Artinya apa yang harus dimiliki anak
didik setelah menamatkan lembaga pendidikan tersebut, Sebagai contoh, kemampuan
apa yang harus dimiliki anak didik setelah menamatkan lembaga pendidikan
iersebut. Sebagai contoh, kemampuan apa yang diharapkan dimiliki oleh anak yang
tamat MI, MTs, atau Madrasah Aliyah. Rumusan tujuan institusional harus
merupakan penjabaran dan tujuan umum (riasional), harus memiliki kesinambungan
antara satu jenjang pendidikan tinggi dengan jenjang Iainnya (MI, MTs, dan MA
sampal ke IAIN/ perguruan tinggi). Tujuan institusional juga harus
memperhatikan fungsi dan karakter dari lembaga pendidikannya, seperti lembaga
pendidikan umum, pendidikan guru dan sebagainya.
c. Tujuan
Kurikuler
Tujuan kurikuler
adalah penjabaran dan tujuan kelembagaan pendidikan (tujuan institusiorial).
Tujuan kurikuler adalah tujuan di bidang studi atau mata pelajaran sehingga
mencerminkan hakikat keilmuan yang ada di dalamnya. Secara oerasional adalah
rumusan kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki anak didik setelah mempelajari
suatu mata pelajaran atau bidang studi tersebut.
d. Tujuan
Instruksional
Tujuan instruksional
dijabarkan dari tujuan kurikuler. Tujuan ini adalah tujuan yang langsung
dihadapkan kepada anak didik sebab hrus dicapai oIeh mereka setelah menempuh
proses belajar-mengajar. Oleh karena itu tujuan instruksional dirumuskan
sebagai kemampuan-kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh anak didik
setelah mereka menyelesaikan proses belajar-mengajar. Ada dua jenis tujuan
institusional, yaitu tujuan instruksional umum (TIU) dan tujuan instruksional
khusus (TIK). Perbedaan kedua tujuan tersebut terletak dalam hal kemampuan yang
diharapkan dikuasai anak didik. Pada TIU sifatnya lebih luas dan mendalam,
sedangkan TIK lebih terbatas dan harus dapat diukur pada saat berlangsungnya
proses belajar-mengajar. Dengan demikian TIK harus lebih operasional dan mudah
dilakukan pengukuran.
2. Fungsi
Kurikulum Bagi Anak Didik
Keberadaan kurikulum sebagai organisasi belajar tersusun
merupakan suatu kesiapan anak. Anak didik diharapkan mendapat sejumlah
pengalaman baru yang dapat dikembangkan seirama dengan perkembangan anak, agar
dapat memenuhi bekal hidupnya kelak. Kalau kita kaitkan dengan pendidikan
islam, pendidikan harus berorientasikan kepada kepentingan peserta didik, dan
perlu diberikan pengetahuan untuk pada zamannya kelak. Nabi Muhammad SAW
brsabda: “Didiklah anak-anakmu, karena mereka diciptakan untuk menghadapi zaman
yang lain dari zamanmu”. Sebagai alat dalam mencapai tujuan pendidikan,
kurikulum diharapkan mampu menawarkan program-program pada anak didik yang akan
hidup pada zamannya, dengan latar belakang sosio historis dan cultural yang
berbeda dengan zaman dimana kedua orangtuanya berada.
3. Fungsi
Kurikulum Bagi Pendidik Guru
Guru merupakan
pendidik professional, yang mana secara implicit ia telah merelakan dirinya
untuk memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang ada di pundak orangtua.
Para orangtua yang menyerahkan anaknya ke sekolah, berarti ia telah melimpahkan
sebagian tanggung jawab pendidikan anaknya kepada guru atau pendidik.
Adapun fungsi kurikulum bagi guru atau pendidik adalah:
·
Sebagai pedoman kerja dalam menyusun dan
mengorganisir pengalaman belajar pada anak didik.
·
Sebagai pedoman untuk mengadakan evaluasi
terhadap perkembangan anak didik dalam rangka menyerap sejumlah pengalaman yang
diberikan.
Dengan adanya kurikulum sudah tentu tugas guru sebagai pengajar dan pendidik akan lebih terarah. Pendidik adalah salah satu faktor yang sangat menntukan dalam proses pendidikan, dan merupakan salah satu kompenen yang berinteraksi secara aktif dalam pendidikan.
Dengan adanya kurikulum sudah tentu tugas guru sebagai pengajar dan pendidik akan lebih terarah. Pendidik adalah salah satu faktor yang sangat menntukan dalam proses pendidikan, dan merupakan salah satu kompenen yang berinteraksi secara aktif dalam pendidikan.
4. Fungsi
Kurikulum Bagi Kepala Sekolah / Pembina Sekolah
a) Kepala
sekolah merupakan administrator dan supervisor yang mempunyai tanggung jawab
terhadap kurikulum. Fungsi kurikulum bagi kepala sekolah dan para Pembina sekolah
lainnya adalah:
Sebagai pedoman dalam mengadakan fungsi supervise yakni memperbaiki situasi belajar
Sebagai pedoman dalam mengadakan fungsi supervise yakni memperbaiki situasi belajar
b) Sebagai
pedoman dalam melaksanakan fungsi supervise dalam menciptakan situasi belajar anak
kea rah yang lebih baik.
c) Sebagai
pedoman dalam memberikan kepada guru atau pendidi k agar dapat memperbaiki
situasi belajar
d) Sebagai
seorang administrator maka kurikulum dapat dijadikan pedoman untuk
mengembangkan kurikulum pada masa datang.
e) Sebagai
pedoman untuk mengadakan evaluasi atas kemajuan belajar-mengajar.
5. Fungsi
Kurikulum Bagi Orang Tua
Kurikulum bagi orangtua, mempunyai fungsi agar orangtua dapat
berpastisipasi membantu usaha sekolah dalam memajukan putra-putrinya.Bantuan
yang dimaksud dapat berupa konsultasi langsung dengan sekolah/guru mengenai
masalah yang menyangkut anak-anak mereka. Adapun bantuan berupa materi dari
orangtua anak melalui Bp-3. Dengan membaca dan memahami kurikulum sekolah, para
orangtua dapat mengetahui pengalaman belajar yang diperlukan anak-anak mereka.
Dengan demikian partisipasi orangtua inipun tidak kalah penting dalam
menyukseskan proses belajar mengajar di sekolah. Meskipun orangtua telah
menyerahkan anak-anak mereka kepada sekolah agar diajarkan dengan ilmu
pengetahuan dan dididik menjadi orang yang bermanfaat bagi pribadinya, orangtua,
keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama.
Namun tidak berarti
tanggung jawab kesuksesan anaknya secara total menjadi tanggung jawab guru dan
sekolah. Sebenarnya keberhasilan tersebut merupakan suatu sistem kerjasama
berdasarkan fungsi masing-masing, yakni orangtua, sekolah, dan guru.Oleh karena
itu, pemahaman orangtua mengenai kurikulum merupakan hal yang mutlak.
6. Fungsi
Kurikulum bagi sekolah tingkat diatasnya
a. pemelihara
keseimbangan proses pendidikan.
Dengan mengetahui
kurikulum sekolah pada tingkat tertentu maka kurikulum pada tingkat atasnya
dapat mengadakan penyesuaian. Misalnya, pada suatu bidang telah diberikan pada
kurikulum sekolah ditingkat bawahnya, harus dipertimbangkan lagi pemeliharaanya
pada kurikulum sekolah tingkat diatasnya , terutama dalam hal pemilihan bahan
pengajaran. Penyesuaian bahan tersebut dimaksudkan untuk menghindari
keterulangan penyampaian yang bisa berakibat pemborosan waktu, dan yang lebih
penting lagi adalah untuk menjaga kesinambungan bahan pengajaran itu.
b. Penyiapan
tenaga baru
Di samping itu, terdapat juga
kurikulum yang berfungsi untuk menyiapkan tenaga pengajar. Bila suatu sekolah
atau lembaga pendidikan bertujuan menghasilkan tenaga guru (LPTK), maka lembaga
tersebut harus mengetahui kurikulum sekolah pada tingkat dibawahnya tempat
calon guru yang dipersiapkan itu akan mengajar. Misalnya murid SPG harus
mengetahui kurikulum SD, mahasiswa IKIP/FKG harus menguasai kurikulum SLTP dan
SMU.
7.
Fungsi Kurikulum bagi masyarakat dan pemakai lulusan
Kurikulum suatu sekolah juga memiliki fungsi bagi masyarakat
dan pihak pemakai lulusan sekolah bersangkutan. Dengan mengetahui kurikulum
pada suatu sekolah, masyarakat, sebagai pemakai lulusan dapat melaksanakan sekurang-kurangnya
dua macam:
a) Ikut
memberikan kontribusi,dalam memperlancar program pendidikan yang membutuhkan
kerjasama dengan pihak orangtua dan masyarakat.
b) Ikut
memberikan kritik dan saran yang konstruktif demi penyempurnaan program
pendidikan di sekolah, agar lebih serasi dengan kebutuhan masyarakat dan
lapangan kerja.
8. Disamping
kurikulum mempunyai tujuan yang telah dikemukakan diatas, kurikulum juga
mempunyai fungsi lain, sebagaimana dikemukakan oleh Alexander Inglis dalam
bukunya principle of secondary education
(1918) sebagai berikut:
a) Fungsi
penyesuaian
Anak didik hidup
dalam suatu lingkungan. Dia harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan
tersebut. Lingkungan senantiasa berubah, tidak statis, bersifat dinamis, maka
anak didik diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang demikian.
Oleh Karena itu, program pendidikan yang diarahkan dengan berbagai aspek
kehidupannya, sarana, dan juga usaha mereka dalam mengembangkan kehidupan
sebagai individu, anggota masyarakat, dan warga Negara.
b)
Fungsi pengintegrasian
Maksudnya, orientasi
dan fungsi kurikulum untuk mendidik individu anak didik yang mempunyai pribadi
yang integral. Mengingat individu anak didik merupakan bagian yang integral
dari masyarakat, makapribadi yang integrasi itu akan memberikan sumbangan dalam
rangka pembentukan atau pengintegrasian masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum
kurikulum diharapkan mampu mempersiapkan anak didik agar mampu mengintegasikan
diri dalam masyarakat, dengan modal pengetahuan, pengalaman, ketrampilan, dan
cara berpikir yang dimiliki, sehingga ia dapat berperan dan memberikan kontribusi
kepada masyarakat.
c) Fungsi
pembeda
Pada prinsipnya,
potensi yang dimiliki anak didik itu memang berbeda-beda. Dan peran
pendidikanlah untuk mengembangkan potensi- potensi yang ada itu secara wajar,
sehingga anak didik dapat hidup dalam masyarakat yang senantiasa beraneka ragam
namun satu tujuan dengan pembangunan tersebut. Berkaitan dengan diferensiasi
pada anak didik tersebut sesuai hadist Nabi SAW, beliau bersabda: “Kami para
Nabi diperintahkan untuk menempatkan manusia sesuai dengan potensi akalnya (H.
R. Abu Bakar bin Asy-Syakir). Hadist ini dapat diintepretasikan bahwa
pendidikan harus diorientasikan kepada pengembangan potensi yang berbeda-beda
dari anak didik, sehingga perlakuan terhadap mereka sepatutnya mempertimbangkan
perbedaan kemampuan dan potensi masing-masing.
d) Fungsi
persiapan
Kurikulum berfungsi
mempersiapkan anak didik agar mampu melanjutkan studi lebih lanjut untuk suatu
jangkauan yang lebih jauh. Apakah anak didik melanjutkan ke sekolah yang lebih
tinggi atau persiapan untuk belajar di masyarakat seandainya ia tidak mungkin
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Mempersiapkan untuk
belajar lebih lanjut tersebut sangat diperlukan mengingat sekolah tidak mungkin
memberikan semua apa yang diperlukan anak didik, termasuk dalam pemenuhan akan
minat mereka
e) Fungsi
pemilihan
Pada penjelasan
sebelumnya telah dijelaskan fungsi kurikulum itu diantaranya diferensiasi,
Dimana antara diferensiasi (perbedaan) dengan pemilihan (seleksi) merupakan dua
hal yang erat hubungannya. Pengakuan atas ke berbedaan berarti pula memberikan
kesempatan bagi anak didik dalam hal memilih apa yang diinginkannya dan menarik
minatnya. Karenanya, dalam pengembangan-pengembangan tersebut, maka kurikulum
perlu disusun secara luas dan bersifat fleksibel dan luwes. Kurikulum hendaknya
dapat memberikan pilihan yang tepat sesuai dengan minat dan kemampuan peserta
didik.
f) Fungsi
diagnostic
Fungsi diagnose
bertujuan agar siswa dapat mengadakan evaluasi kepada dirinya, menyadari semua
kelemahan dan kekuatan yang ada pada dirinya, sehingga dapat memperbaiki dan
mengembangkannya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada, yang akhirnya dapat
dikembangkan secara maksimal dalam masyarakat.
Pengembangan kurikulum dapat dilaksanakan pada berbagai
tingkat, mulai dari tingkat kelas sampai tingkat nasional. Urutan tingkat
tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:
1. Pengembangan
kurikulum pada tingkat guru kelas,
2. Pengembangan
kurikulum pada tingkat kelompok guru dalam suatu sekolah,
3. Pengembangan
kurikulum pada tingkat pusat guru (teachers
center),
4. Pengembangan
kurikulum pada tingkat daerah,
5. Pengembangan
kurikulum pada tingkat Nasional.
Hal ini menunjukkan bahwa guru merupakan ujung tombak
pendidikan. Karena itu, para guru dituntut mampu mengembangkan kurikulum
pembelajaran di kelas yang didasarkan pada teori-teori pengembangan kurikulum
dan pengalaman mengajar di kelas sebagai figure pelaksanan kurikulum. Guru merupakan
pelaku pendidikan yang paling mengenal kondisi para siswa yang diajar didalam
kelas.
Selanjutnya Hamalik menyatakan bahwa pengembangan kurikulum
harus dikaitkan dengan perkembangan komponen yang mendasari perencanaan dan
pengembangan kurikulum . komponen-komponen itu adalah pengembangan tujuan
pendidikan, perkembangan teori belajar, perkembangan siswa, perkembangan
kultur, dan perkembangan kurikulum yang digunakan.[6]
D. Peranan Pengembangan Kurikulum
Kurikulum bagi program pendidikan dimana sekolah sebagai
institusi sosial melaksanakan
oprerasinya, paling tidak dapat ditentukan 3 jenis kurikulum:
a. Peranan
Konservatif
Menekankan bahwa
kurikulum itu dapat dijadikan sebagai sarana untuk mentramisikan nilai-nilai
warisan budaya masa lalu yang dianggap masih relevan dengan masa kini bagi
generasi muda.
b. Peranan
Kritis dan evaluative
Perkembangan ilmu
pengetahuan dan aspek-aspek lainnya senantiasa terjadi setiap saat. Peranan
kreatif menekankan bahwa kurikulum harus mampu mengembangkan sesuatu yang baru sesuai
dengan perkembangan.
c. Peranan
Aktif
Peranan ini dilatar
belakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilai-nilai dan budaya yang hidup dalam
masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Sehingga pewarisan dan nilai-nilai
budaya masa lalu.kepada siswa perlu disesuaikan dengan masa sekarang.
E.
Perubahan
Kurikulum dan Pelaksanaan Praktis
Isu
mengenai Kurikulum 2013 memunculkan beragam tanggapan terutama yang bersifat
kritik tajam terhadap praktik pembuatan kebijakan pendidikan. Kebanyakan
mempertanyakan aspek kesiapan, landasan dan naskah akademik perubahan, evaluasi
terhadap kurikulum sebelumnya, logika pembuatan kebijakan, penganggaran dan
motif politis dari proyek Kurikulum 2013. Sebaliknya, pemerintah menganggap
kritik itu muncul dari pihak di luar pemain utama pendidikan yang memanfaatkan
peran media. Pada saat yang bersamaan, suara praktisi, terutama guru, berada di
kesunyian yang gaduh.
Terlepas dari itu semua, terdapat dua
hal terkait dengan perubahan kurikulum. Pertama, perlunya perubahan cara pikir
dari project thinking menuju process thinking, Kedua, apapun
kurikulumnya, pelaksanaannya sangat bergantung pada guru sebagai garda depan
pelaksana kebijakan. Implementasi kurikulum sebagai kebijakan memerlukan professional judgement dari guru sebagai
adaptive expert. [7]Keduanya
meniscayakan terbangunnya budaya belajar di komunitas pendidik dalam mengkaji
praktik pengajaran dan pembelajaran serta pengelolaan sekolah.
Paparan
ini memfokuskan pada peranan daya tafsir atau kemampuan interpretasi maupun ‘sense-making’ pendidik sebagai implementing agent kebijakan pendidikan
seperti kurikulum. Diawali dengan pembahasan perspektif implementation research terkait upaya membangun kapasitas dan
kemandirian professional guru yang dilanjutkan dengan ilustrasi isu praktis
dari upaya membangun daya tafsir pendidik melalui serangkaian diskusi informal
terfokus praktik pengajaran dan budaya sekolah.[8]
Spillane
et al. memandang guru sebagai ‘sense-maker’
yang kapasitasnya dipengaruhi oleh tata nilai, emosi dan daya nalar yang
diyakini dan dipahaminya serta oleh konteks sosial dimana ia bekerja. Interaksi
sosial, konteks organisasi dan historis sekolah serta budaya kerja mempengaruhi
daya tafsir implementasi kurikulum. Kombinasi aspek intra- dan interpersonal
tersebut menyediakan pola dan distribusi keyakinan dan pengetahuan yang
melandasi interpretasi para pendidik dalam mengimplementasikan kurikulum. Oleh
karena itu, kebijakan kurikulum perlu menyentuh aspek praktik serta menyediakan
kesempatan belajar bagi para pendidik untuk melakukan pengkajian agar dapat
menajamkan kepekaan profesionalnya dalam memaknai pengajaran dan pembelajaran.
Membangun
budaya belajar yang memfokuskan pengkajian terhadap praktik pengajaran dan
pembelajaran dihadapkan pada berbagai tantangan. Berbagai studi tentang ‘professional learning community’
membahas tentang peran kepemimpinan, bantuan fasilitasi eksternal (kemitraan),
daya mampu pendidik sebagai pengakar yang pembelajar. Terlepas dari itu semua,
bagaimana sekolah membuat kebijakan tentang pengkajian kurikulum dan pedagogi
serta memosisikan guru sebagai pembuat kebijakan (policy subjects) menjadi isu penting.
Isu
tersebut berkenaan dengan bagaimana pengetahuan dan sistem keyakinan guru
tentang, misalnya, matematika, kurikulum matematika, pengajaran matematika dan
pembelajaran matematika. Tujuannya adalah menggali ‘mental image’ atau ‘medan gestalt’[9]
guru tentang bagaimana mempelajari matematika yang dihubungkan dengan
perspektif peserta didik. Kajiannya mencakup analisis perbandingan kurikulum
dan buku teks Indonesia, Singapura dan Jepang yang disertai dengan simulasi
berpikir matematis dan uji coba di kelas. Hasil kajian terhadap praktik
tersebut terungkap adanya kesenjangan konsepsi guru-siswa yang mengimplikasikan
perlunya kriteria kesatuan, keterpaduan dan keluwesan pedagogis guru. Hal ini
dikembangkan melalui sajian bahan ajar yang terfokus membangun pola pikir
matematis anak melalui pemecahan masalah yang menantang. Dalam hal ini, tim
matematika memikirkan bagaimana sajian masalah yang menantang itu dari segi
‘kompetensi matematika’ dan bagaimana prediksi dan antisipasi respon siswa
dengan beragam kemampuannya terhadap masalah tersebut. Proses tersebut
menghasilkan pemetaan alur belajar dan strategi bantuan guru di kelas yang
dalam pembahasannya membantu penajaman daya tafsir guru dalam mengembangkan
pengajaran (prospective sense-making).
Pemetaan tersebut membantu guru dalam melaksanakan pengajaran (enactive sense-making) dan tim dalam
mengobservasi dan merefleksikan pengajaran (retrospective
sense-making) yang memunculkan berbagai pertanyaan untuk digali lebih
lanjut.
Dari
pengkajian tersebut, mengemuka beberapa tafsiran yang mungkin selama ini
bertentangan dengan kebiasaan yang lazim terjadi di Indonesia. Tafsiran itu
dikembangkan dari upaya menghubungkan antara proses belajar guru dengan proses
belajar siswa Beberapa diantaranya: 1) guru bukan mengajarkan matematika tapi
belajar matematika?; 2) isi kurikulum/buku teks tidak perlu diajarkan
seluruhnya dan guru tidak perlu terpaku pada urutan kaku; 3) peran guru memilih
apa yang penting untuk anak sesuai perkembangannya; 4) sajian masalah yang
menantang menstimulasi berpikir semua anak, bahkan anak yang ‘pintar’ cenderung
mengalami kesulitan daripada siswa yang ‘biasa’; 5) perkembangan anak bersifat
berkelanjutan sehingga perlu analisis dan desain kemajuan belajar berbasis
kolaborasi; 6) waktu belajar efektif setiap sesi pertemuan bagi anak SD adalah
kurang dari 50-60 menit sehingga perlu redesain pembelajaran yang efisien serta
penyikapan terhadap alokasi waktu 2x35 menit; 7) sistem point-rewards bisa jadi
membangun iklim kompetisi dan kegaduhan anak di kelas; 8) ada potensi teknik ‘scaffolding penularan anak’ akan lebih
baik daripada ‘scaffolding guru’; 9)
kombinasi analisis ‘breakthrough’ dan
‘obstacle’ belajar pada anak
mendasari desain pelajaran yang lebih baik; dan 10) ada perbedaan antara ‘thoughtful’ vs. ‘joyful’ learning.
Akhirnya,
walaupun pendekatan Kurikulum 2013 lebih terpusat, daripada KTSP yang lebih
memberi ruang kreatif guru, pada akhirnya panduan buku teks yang kemungkinan
sangat kaku dan seragam tidak bisa mengingkari keragaman konteks dan situasi.
Karena itu, keputusan pedagogis guru terhadap implementasi Kurikulum 2013 akan
tetap memainkan peran penting dimana daya tafsir guru melandasi setiap
kebijaksanaan praktis guru. Kiranya hal inilah yang sebaiknya menjadi fokus
pengkajian dan pembelajaran kita sebagai komunitas pendidik.
BAB III
P E N U T U P
A.
Kesimpulan
Pemahaman kurikulum yang didasarkan pada permikiran atau
filsafat pendidikan klasik yang menganggap kurikulum adalah program pendidikan
yang diberikan secara direncanakan di sekolah.Dalam pengalaman
sehari-hari, sering didengarkan istilah fungsi. Fungsi membawa akibat pada
adanya hasil.
Jika sesuatu itu berfungsi maka berakibat pada adanya hasil.
Demikian juga sebaliknya, jika sesuatu itu tidak berfungsi akan berakibat pada
tidak tercapainya hasil yang diharapkan (tujuan). Atas dasar tersebut, dapat
dikatakan bahwa fungsi kurikulum berkaitan dengan komponen-komponen yang ada
dan mengarah pada tujuan-tujuan pendidikan. Sudah jelas bahwa kurikulum
mempunyai fungsi dan peranan yang sangat penting dalam maju mundurnya
pendidikan yang dilaksanakan, karena dalam fungsi dan peran kurikulum
menyangkut semua aspek-aspek yang terlibat dalam system pendidikan, dimana
semua terkait dan saling melengkapi.
Berdasarkan rincian pembahasan diatas dapat ditarik pemahaman
bahwa manajemen kurikulum sebenarnya menekankan pada strategi pengelolaan
proses pembelajaran secara efektif dan efisien untuk mencapai hasil pendidikan
secara maksimal. Proses pembelajaran tampaknya memang menjadi penentu kualitas
pendidikan pendidikan melebihi komponen-komponen lainnya. Namun demikian semua
komponen tetap diperlukan untuk mewujudkan tujuan pendidikan.
B. Saran
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah
ini masih terdapat berbagai kekeliruan baik dari segi penulisan maupun
pembahasan yang termuat dalam makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan
masukan dan kritikan dari para peserta diskusi mata kuliah Analisis isu dan
kebijakan Pendidikan Islam pada program Pascasarjana STAIN Sultan Qaimuddin
Kendari tahun ajaran 2014/2015, sehingga makalah ini dapat menambah wawasan
pengetahuan kita tentang tujuan dan manfaat dari pembiayaan Pendidikan Islam.
Daftar Pustaka
Doll, W.E.
(1993). A Post-Modern Perspective on Curriculum. New York and London: Teachers College, Columbia University
Dr. Mukhamad
Ilyasin, M.Pd, Manajemen Pendidikan
Islam, Malang:Aditya Media Publishing, 2012.
Made Pidarta,
2000. Landasan Kependidikan : Rineka Cipta, Jakarta
Nana Syaodih
Sukmadinata, 2008. Pengembangan Kurikulum, Teori dan praktek. Rosdakarya,
Bandung
Prof.
Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan
Islam, Malang:Erlangga, 2007.
Subandijah,
1996.Pengembangan dan Inovasi kurikulum : Grafindo persada, Jakarta
Suratno,
Perubahan Kurikulum dan Pelaksanaan
Praktis: Peranan Daya Tafsir Pendidik, Universitas Pendidikan Indonesia
Kampus Serang, 2007.
Tanner, D. dan
Tanner,L. (1980). Curriculum Development: Theory into Practice. New York:
Macmillan Publishing Co.,Inc.
[1] Tanner, D. dan Tanner,L. (1980).
Curriculum Development: Theory into Practice. New York: Macmillan Publishing
Co.,Inc.hal-104
[2]
Ibid, Tanner,
D. dan Tanner,L. .hal-109
[3] Prof. Dr. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, Malang:Erlangga,
2007, hal-150
[5]
Mujamil Qomar, hal-151
[6] Hamalik Oemar, Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2006, hal 22.
[7] Darling-Hammond, L., and Sykes, G. (1999). Teaching as the learning profession.
Handbook of policy and practice. San Francisco: Jossey-Bass.
[8] Spillane, J., Reiser, B., and Reimer, T. (2002). Policy
implementation and cognition: Reframing and refocusing implementation research.
Review of Educational Research. Vol.
72, No. 3, pp. 387-431.
[9] Korthagen, F. (2010). Situated
learning theory and the pedagogy of teacher education: Toward integrative view
of teacher behavior and teacher learning. Teaching
and Teacher Education. Vol. 26, pp. 98.
Hamalik Oemar, Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2006
terima kasih
BalasHapus